PENYELESAIAN PERMASALAHAN GAMPONG DALAM PERSOALAN KHALWAT

 BAB I 

PENDAHULUAN


Latar Belakang

Pemerintah desa terkait erat dengan keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia yang merupakan sebuah hal keniscayaan yang tidak terbantahkan. Van Vollenhoven dalam penelitiannya pernah menyatakan bahwa masyarakat asli hidup di Indonesia sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan hukum adat. Desa adat sebagai teritorial akan masyarakat yang mempunyai tata susunan asli yang sudah lama ada dan sangat perlu dijaga dan dilestarikan eksistensinya. Pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7) UUD 1945, tetapi kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan. 

Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, didefinisikan bahwa desa adalah desa dan desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa adalah kesatuan wilayah hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Sebelum dimekarkan pada akhir tahun 1970-an, ibu kota Kabupaten Aceh Besar adalah Kota Banda Aceh. Setelah Kota Banda Aceh berpisah menjadi kota madya tersendiri, ibukota kabupaten dipindahkan ke Jantho dipegunungan Seulawah. Kabupaten Aceh Besar juga merupakan tempat kelahiran pahlawan nasional Cut Nyak Dhien yang berasal dari Lampadang.

Konsep pemerintahan desa sejatinya merupakan pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat di tingkat bawah. Sehingga sekecil apapun pemerintahan desa, tetap memiliki peran dan posisi yang strategis dalam pelayanan publik dan pemberdayaan terhadap masyarakat. Namun yang istimewa dari Undang-Undang Desa ini, ialah selain mengatur tentang Desa sebagai salah satu struktur birokrasi pemerintahan, juga mengakui Desa Adat dan nama lain yang seumpanya.

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Desa menyebutkan, yang dimaksud dengan desa adalah “Desa dan Desa Adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Ketentuan ini perlu diberikan penekanan bahwa selain desa, Undang-Undang Desa juga mengakui keberadaan desa adat atau nama lain yang dapat disebut sebagai desa. Namun yang unik dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Desa memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memprakarsai perubahan status desa adat menjadi desa atau kelurahan. Peluang ini seolah memberi gambaran bahwa desa adat pada saat tertentu nantinya akan dileburkan dan dijadikan seluruhnya sebagai desa “birokrasi” yang wewenang utamanya hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah, pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten/kota. Jika telah berubah statusnya menjadi desa birokrasi/dibirokrasikan, maka tugas desa tersebut layaknya seperti kepala kantor yang mempunyai garis tanggung jawab antara atasan dan bawahan. 

Gampong di Aceh tidak mungkin “dibirokrasikan” secara total seperti desa birokrasi. Ini karena, dalam ketentuan khusus bagian penjelasan umum Undang-Undang Desa secara tegas menyatakan bahwa pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan mengenai pengaturan desa di samping memperhatikan ketentuan dalam UUDesa, juga harus memperhatikan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh(UUPA).



Identifikasi Masalah

Masalah yang diuraikan dalam Naskah Akademik ini meliputi beberapa masalah pokok: 

Apa permasalahan yang sering dihadapi dalam masyarakat adat serta bagaimana solusi untuk menyelesaikan?

Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Desa Adat?

Apa sasaran yang akan diwujudkan dalam Rancanga Peraturan Daerah Desa Adat, serta ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan?

Tujuan dan maksud

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: 

Merumuskan dan memecahkan permasalahan yang dihadapi masyarakat adat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Merumuskan perimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Tentang Desa Adat.

Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Desa Adat yang akan diwujudkan seperti ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan.

Metode

Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah tentang Desa Adat ini menggunakan metode yuridis yaitu normatif yang dilakukan melalui studi pustaka, maka sumber penelitian hukum berupabahan-bahan hukum (primer, sekunder dan tersier) seperti peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, tulisan-tulisan, literature,serta hasil penelitian yang akan digunakan. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, jurnal-jurnal hukum.

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

Kajian Teoritis

Istilah dan konsep dalam pengaturan Masyarakat Adat akan dikaji dengan kajian teoritis atas konsep masyarakat adat, masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, pengakuan masyarakat, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat. Selain itu konsep susunan asli dan hak asal-usul, pengakuan dan personalitas hukum dan hukum adat. Persyaratan sehingga komunitas adat disebut masyarakat. Relasi konstitusional masyarakat hukum adat dengan negara yang berimplikasi pada bagaimana negara seharusnya memperlakukan masyarakat adat. Kedudukan masyarakat adat sebagai subjek hukum yang dapat memiliki hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum dalam kapasitasnya sebagai kelompok masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional.

Adat aceh yang bersendi syari’at merupakan dua unsur penting dalam masyarakat Aceh. Adat aceh secara sendirinya telah berbicara dan melibatkan hukum syari’at. Hukum Islam yang telah mengkristal dan menjiwai masyarakat adat Aceh tidak hanya dalam wacana, tetapi juga menjadi kesadaran dan aplikasi moral seluruh masyarakatnya. Hal inilah yang kemudian terekam dalam ungkapan “hadih Madja”, Adat ngon syari’at lagee dzat ngon sifeut.


Masyarakat Adat. 

Konsep Masyarakat Adat dalam Undang-Undang ini mengandung dua konsepsi yaitu masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. Dalam perbincangan ilmiah, praktek administrasi pemerintahan, dunia usaha dan kehidupan sehari-hari di Indonesia, terdapat sejumlah istilah yang dipakai untuk menunjuk kelompok masyarakat yang kehidupan sosialnya berlangsung dalam wilayah geografis tertentu dan masih didasarkan pada nilai dan norma-norma kebiasaan (adat) sehingga membuatnya bisa dibedakan dengan kelompok-kelompok lainnya. Istilah-istilah dimaksud antara lain masyarakat hukum adat, masyarakat adat, masyarakat lokal, masyarakat tradisional dan komunitas adat terpencil (KAT). Kelima istilah tersebut telah digunakan dalam perbagai produk hukum di Indonesia baik legislasi maupun putusan pengadilan. Secara umum, kelima istilah tersebut menunjuk pada kelompok masyarakat yang sama namun dapat juga menunjuk kelompok masyarakat yang berbeda bila penggunaannya  dimaksudkan untuk menekankan aspek-aspek tertentu dari kelompok masyarakat tersebut. 


Masyarakat Hukum Adat

Istilah masyarakat hukum adat tidak bisa dilepaskan dari istilah masyarakat hukum. Dikatakan demikian karena istilah masyarakat hukum adat merupakan pengembangan dari istilah masyarakat hukum. Literatur hukum adat hanya memberi perhatian pada pembahasan istilah masyarakat hukum yang dalam bahasa Belanda disebut rechtsgemeenschap. Dalam perkembangannya, sejumlah ahli hukum adat Indonesia menerjemahkan istilah rechtsgemeenschap dengan masyarakat hukum adat. Sekalipun demikian terdapat juga sejumlah ahli hukum adat yang memahami istilah tersebut sebagai terjemahan dari adatrechtsgemeenschap. Dengan demikian, istilah masyarakat hukum adat, sebagai terjemahan dari rechtsgemeenschap diperkenalkan pertama kali oleh kalangan akademisi. 

Pembahasan mengenai istilah masyarakat atau persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) mencakup pengertian dan ciri-ciri penanda. Para ahli hukum generasi awal seperti Van Vollenhoven, Ter Haar dan R. Van Dijk menjelaskan ciri-ciri yang sama pada masyarakat hukum yaitu memiliki tata hukum, otoritas dengan kuasa untuk memaksa, harta kekayaan, dan ikatan batin diantara anggotanya. 

Dalam perkembangannya, literatur akademik mengenai hukum adat menggunakan juga keempat ciri tersebut untuk menjelaskan istilah masyarakat hukum adat. Bahkan sebagian besar dari literatur tersebut tidak membuat perbedaan yang tegas antara istilah masyarakat hukum dan masyarakat hukum adat. Sebagaimana sudah disebutkan hal tersebut terjadi karena istilah rechtsgemeenschap diterjemahkan juga sebagai masyarakat hukum adat. Istilah masyarakat hukum adat dibahas dengan menyebut ciri-ciri yang sebenarnya merupakan kepunyaan masyarakat hukum atau persekutuan hukum.. Dengan demikian, masyarakat hukum adat adalah suatu kenyataan meta yuridik. Selain itu para anggotanya tidak punya pikiran untuk menghilangkan identitas bersama yang mengikat mereka ataupun melepaskan diri dari ikatan tersebut untuk selama-lamanya. Kedua, menegaskan bahwa tertib atau tata hukum dari persekutuanpersekutuan otonom tersebut didasarkan pada hukum adat.

Selain dengan dua cara di atas, cara lain untuk membedakan istilah masyarakat hukum adat dari istilah masyarakat hukum adalah dengan menambah bobot pada penjelasan mengenai ciri adanya ikatan batin. Ikatan batin dimungkinkan karena adanya sejumlah hal yang dianggap sebagai identitas bersama seperti leluhur, wilayah dan benda-benda yang memiliki kekuatan gaib. Daftar hal-hal mengikat tersebut tentu saja bisa ditambah seperti bahasa. Dari segi peran, kedalam pengikat-pengikat tersebut membentuk soliditas dan solidaritas sosial sedangkan keluar untuk membentuk identitas bersama yang dipakai untuk menjelaskan dirinya kepada pihak-pihak lain. 


Masyarakat Tradisional.

Memahami masyarakat tradisional biasanya dikaitkan dengan konsep masyarakat modern. Jika dalam masyarakat modern tidak terikat pada adat-istiadat

Dimana presepsi bahwa adat-istiadat yang menghambat kemajuan segera ditinggalkan untuk mengadopsi nila-nilai baru yang secara rasional diyakini membawa kemajuan, sehingga mudah menerima ide-ide baru. Namun berbeda dengan masyarakat tradisional yang masih terikat dengan kebiasaan atau adat-istiadat yang telah turun-temurun. Keterikatan tersebut menjadikan masyarakat mudah curiga terhadap hal baru yang menuntut sikap rasional, sehingga sikap masyarakat tradisional kurang kritis (Dannerius Sinaga, 1988: 152).

Adapun karakteristik pada masyarakat tradisional diantaranya: 

Orientasi terhadap nilai kepercayaan kebiasaan dan hukum alam tercermin dalam pola berpikirnya 

Kegiatan ekonomi masyarakat bertumpu pada sektor agraris

Fasilitas pendidikan dan tingkat pendidikan rendah

Cenderung tergolong dalam masyarakat agraris dan pada kehidupannya tergantung pada alam sekitar

Ikatan kekeluargaan dan solidaritas masih kuat 

Pola hubungan sosial berdasar kekeluargaan, akrab dan saling mengenal 

Kepadatan penduduk rata-rata perkilo meter masih kecil

Pemimpin cenderung ditentukan oleh kualitas pribadi individu dan faktor keturunan (Dannerius Sinaga, 1988: 156).

Ciri-Ciri Masyarakat Tradisional yang paling pokok dalam kehidupan masyarakat tradisional adalah ketergantungan mereka terhadap lingkungan alam sekitarnya. Faktor ketergantungan masyarakat tradisional terhadap alam ditandai dengan proses penyesuaian terhadap lingkungan alam itu. Jadi, masyarakat tradisional, hubungan terhadap lingkungan alam secara khusus dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu berhubungan langsung dengan alam dan kehidupan dalam konteks yang agraris. Dengan demikian pola kehidupan masyarakat tradisional tersebut ditentukan oleh 3 faktor, yaitu pertama, ketergantungan terhadap alam. Kedua, derajat kemajuan teknis dalam hal penguasaan dan penggunaan alam. Ketiga, Struktur sosial yang berkaitan dengan dua faktor ini, yaitu struktur sosial geografis serta struktur pemilikan dan penggunaan tanah.




Kajian terhadap asas atau prinsip yang berkaitan dengan penyusunan norma masyarakat hukum adat

Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat dalam pasal 5 (lima) undang-undang nomor 15 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan antara lain :

Asas kejelasan tujuan, adalah bahwa setiap pembentukan

perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas hendak dicapai.

Asas kelembagaan atau pembentuk yang tepat, adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat ole lembaga negara atau  pejabat pembentuk peraturan yang berwenang. Peraturan perundang undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang

Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, adalah bahwa dalam pembetukan peraturan perundangundangan harus benar-benar materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Asas dapat dilaksanakan, dalah bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivias peraturan perundang-undangan tesebut didalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benarbenar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis peyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika,pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

Asas keterbukaan, adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Adapun asas–asas yang di atur dalam pasal 3 Qanun Aceh No 9 Tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat antara lain :

Keislam

Keadilan

Kebenaran

Kemanusian

Keharmonisan

Ketertiban dan keaman

Ketentraman

Kekeluargaan

Kemanfaatan

Kegotoroyongan

Kedamaian

Permusyawaratan ; dan

Kemaslahatan umum 


Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan peraturan perundang- undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian .

Pengenaan denda adat dalam penyelesaian kasus khalwat Di Banda Aceh berbeda-beda pada setiap gampong (desa). Sebagian gampong dikenakan denda berupa membayar sejumlah uang, pemotongan kambing, diusir dari gampong, dilakukan bimbingan oleh wali, dan ada juga yang dinikahkan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan mekanisme pelaksanaan penyelesaian sengketa Khalwat dan pemberian denda adat, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hambatan Majelis Peradilan Adat dalam memberikan Sanksi Denda Adat Kepada Pelaku Khalwat di Kota Banda Aceh. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis empiris, dengan sumber data kepustakaan dan lapangan. Hasil dari penelitian menunjukkan pelaksanaan pemberian denda adat terhadap pelaku khalwat disetiap gampong pada dasarnya sama yaitu tetap melalui prosedur musyawarah bersama, namun ada beberapa hal yang berbeda, hal ini dikarenakan pertimbangan Majelis Peradilan Adat, keikhlasan para pihak (pelaku) Khalwat dan kesepakatan bersama dalam sidang adat. Pemberian denda adat pada setiap gampong mengalami hambatan  ketika pelaku khalwat tidak sanggup mebayar denda adat, tidak ada peraturan yang menjelaskan jumlah pengenaan denda secara tegas yang menyebutkan batasan minimal dan maksimal dalam pengenaan denda, dan kurangnya sosialisasi yang diberikan baik sosialisasi dari Majelis Adat Aceh kepada pemangku adat di gampong-gampong maupun sosialisasi dari pemangku adat gampong untuk masyarakat. Disarankan untuk para pihak untuk menghormati mekanisme dan putusan adat yang ada pada setiap gampong, Pemerintah Aceh agar peraturan/Qanun Aceh terkait dengan definisi denda, dan pengenaan denda adat agar menyebutkan  jumlah pengenaan denda secara tegas batasan minimal dan maksimal dalam pengenaan denda adat, selanjutnya diharapkan kepada Majelis Adat Aceh Kota Banda Aceh untuk meningkatkan sosialisasi khusus kepada keuchik-keuchik gampong dan perangkat adat gampong mengenai permasalahan-permasalahan adat sanksi-sanksi adat khususnya pengenaan denda adat kepada pelaku khalwat, dan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan sanksi-sanksi adat.






Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat .

Hak Asal-Usul dan Susunan Asli

Menurut perspektif politik atau  ketatanegaraan istilah atau konsep susunan asli dan hak asal-usul merupakan petanda sekaligus pengakuan adanya entitas yang sudah eksis sebelum suatu negara bangsa lahir. Kata “ asli “  dan “ asal - usul “ menegaskan hal tersebut. Sebagai pengakuan, kedua istilah tersebut mewakili suatu kesadaran mengenai adanya organisasi penyelenggara pemerintahan yang berbeda dengan yang dikelola negara. Organisasi pemerintahan tersebut, sekalipun melewati proses-proses dinamik yang sangat panjang dengan menerima pengaruh dan intervensi dari kekuatan-kekuatan luar, tetap mempertahankan unsur-unsur tradisionalnya. Pemberian prediket tersebut tidak lepas juga dari kenyataan bahwa entitas-entitas dimaksud tengah berada di dalam sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya modern yang dominan.

Kata “asal-usul‟ dalam prasa hak asal-usul menunjuk pada sumber. Dikatakan hak asal-usul karena keberadaanya bukan karena pemberian oleh negara atau pemerintah. Hak asal-usul berasal dan diciptakan sendiri oleh komunitas-komunitas autohton yang sudah ada sebelum negara dilahirkan. Karena sudah ada sebelum negara lahir, hak asal-usul dinamai juga sebagai hak bawaan untuk membedakannya dengan hak berian. 

Pengertian istilah hak asal-usul yang demikian mengingatkan pada satu ciri masyarakat hukum adat sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, yaitu muncul bukan karena dibentuk oleh otoritas di luarnya melainkan secara alamiah. Dengan demikian, seluruh perangkat-perangkat sosial masyarakat hukum adat, termasuk hak asalusul juga terbentuk secara alamiah.




Hukum Adat

Istilah hukum adat merupakan terjemahan langsung dari adatrecht dalam bahasa  Belanda. Pada awalnya istilah hukum adat adalah konsumsi dunia akademik karena tidak dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pergaulan sehari-hari yang digunakan adalah istilah adat. Hukum adat adalah adat atau kebiasaan yang memiliki sanksi atau akibat hukum. Pengenaan sanksi merupakan kewenangan fungsionaris adat baik yang bertugas sebagai pamong atau hakim. Sanksi dapat berbentuk denda, dikucilkan dari acara-acara adat, dicela atau bahkan diusir dari lingkungan persekutuan hukum. Kepatuhan terhadap sanksi bukan karena rasa takut pada upaya paksa tetapi karena sudah dianggap sebagai kebiasaan selain rasa takut kepada roh nenek moyang. 

Kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai- nilai syariat islam. (Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat) UUPA dan Lembaga Adat Aceh, Dari berbagai kelebihan yang dimiliki oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, diantaranya adalah, diakuinya keberadaan lembaga-lembaga adat Aceh secara resmi. 

Adapun dalam beberapa Qanun Aceh yang mengatur tentang prosedur peradilan adat secara prinsip hanya mengakomodir budaya dan kearifan lokal yang sudah lama hidup dan berkembang tersebut. Dalam penyelesaian perkara-perkara yang berhubungan dengan adat dan adat istiadat. Qanun No. 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong Dalam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang menegaskan bahwa tugas dan kewajiban pemerintahan Gampong adalah:

Menyelesaikan sengketa adat

Menjaga dan memelihara kelestarian adat dan adat istiadat

Memelihara ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya perbuatan maksiat dalam masyarakat

Bersama dengan Tuha peuet dan Imum Meunasah menjadi hakim perdamaian.

Khalwat 

Khalwat (mesum) adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau lebih tanpa ikatan nikah (bukan muhrim) pada tempat tertentu yang sepi dan memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya perbuatan perzinaan. Islam dengan tegas melarang melakukan zina, sementara khalwat ditenggarai menjadi was}ilah untuk terjadinya zina (Hifdhotul Munawaroh, 2013:154) Qanun Aceh dalam upaya  preventif dan tercapainya penerapan syariat Islam di Aceh secara  kaffah telah memasukkan khalwat ke dalam kategori jarimah (perbuatan pidana) dan dapat diancam dengan ‘uqubat ta’zir.

Dalam perkembangannya khalwat tidak hanya terjadi di tempat-tempat tertentu yang sepi dari penglihatan orang lain, tetapi juga dapat terjadi di tengah keramaian atau di jalanan dan di tempat-tempat lain seperti dalam mobil atau kenderaan lainnya, dimana laki-laki dan perempuan berasyik maksyuk tanpa ikatan nikah atau hubungan mahram (Qanun Nomor 14 Tahun 2003). Qanun tentang larangan  khalwat ini dimaksudkan sebagai upaya preemtif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif  melalui penjatuhan  ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir.

Namun demikian keduanya tetap memiliki perbedaan orientasi hukum, perbuatan khalwat akan tetap ditindak baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun di tempat tertutup, artinya orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat pribadi agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan zina yang dilarang oleh agama dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari. Sementara manfaat bagi orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan atau perbuatan yang merusak kehormatan. 

Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 3 Qanun No. 14 Tentang Khalwat dimana tujuan larangan khlawat adalah untuk melindungi masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina dan merusak kehormatan dan melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan.

Seperti kasus Lima pelaku khalwat atau perzinaan di Kabupaten Aceh Besar  dicambuk karena terbukti melanggar Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 pasal 25 ayat 1 tentang Khalwat (mesum).Ke lima terhukum Uqubat cambuk itu terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan."Mereka tertangkap oleh masyarakat melakukan perbuatan mesum di salah satu toko di kawasan Aceh Besar pada 8 November 2015 dan selanjutnya ke limanya diserahkan pada Satpol PP dan WH Aceh Besar," kata Kasatpol PP dan WH Aceh Besar, M Rusli. Para pelaku khalwat yang mendapat hukuman cambuk itu masing-masing Fakhrurrazi mendapat dicambuk 11 kali, Edi Saputra 6 kali dan Riza Muliadi 16 kali, Resa Yulfani dicambuk 4 kali dan Fitriani dicambuk 16 kali.


BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN TERKAIT DESA ADAT

Dalam meninjau tentang pengakuan dan perlindungan hukum mengenai desa adat,maka perlu memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dan mengatur mengenai keberadaan desa adat antara lain seba  gai berikut:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan Desa ada  terdapat dalam Pasal 18 Ayat (6), Pasal 18B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3), sebagai berikut:

Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan: “pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

Ketentuan Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar 1945 yang termasuk kedalam Bab VITentang Pemerintahan daerah dalam ketentuan  itu,  antara  lain,  ditegaskan  bahwa  pemerintah  daerah (baik Provinsi, Kabuaten, maupun Kota) mengatur danmengurus sendiri  urusan  urusan  pemerintahan menurut  asas  otonomi  dan tugas pembeharuan. 

Penegasan ini  menjadi dasar hukum bagi seluruh pemerintahan daerah untuk dapat menjalankan roda pemerintahan   (termasuk   menetapkan   peraturan   daerah   dan peraturan lainya) secara lebih leluasa dan bebas serta sesuai dengan kebutuhan, kondisi dan karakteristik daerahnya masing-masing, kecuali untuk urusan pemerintahan yangdinyatakan oleh Undang-undang sebagai urusan pemerintah pusat. 

Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan: “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.”

Ketentuan Pasal 18B Ayat (2) Undang-Undang 1945 yang termsuk kedalam Bab VI Tentang Pemerintahan Daerah, memberikan penekanan bahwa ketentuan Pasal 18B ini adalah menyangkut daerah. Negara mengakui dan menghormati ketentuan-ketentuan masyarakat hukum adat dan desa adat yang dimana merupakan basis pelaksanaan hukum adat. Adanya pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan desa adat adalah termasuk juga pengakuan terhadap hak-hak tradisionalnya yang dikenal dengan istilah hak ulayat.

Pasal 28IAyat (3)Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Ketentuan   Pasal  28I  Ayat   (3)   Undang-Undang   Dasar   1945 memberikan penekanan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dihormati selaras dengan perkembangan zman dan peradaban. Tentunya identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang dimaksud adalah yang tidak bertentangan dengan identitas bangsa secara keseluruhan. Dengan demikian, negara akan bertanggung jawab untuk memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat dan desa adat karena mereka termasuk warga negara yangmempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia lainya.


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatsetempat danberperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkanUndang-Undang.

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dandemokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalammelaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang.

Berdasarkan Pasa l1 angka 1, Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain,selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan  masyarakat  setempat  berdasarkan  prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemerintah Desa dan masyarakat Desa dapat membentuk Lembaga Adat Desa. Lembaga adat Desa merupakan lembaga yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat dan menjadi bagian dari susunan asli Desa yang tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat   Desa.   Lembaga   adat   Desa   bertugas   membantu Pemerintah Desa dan sebagai mitra dalam memberdayakan, melestarikan, dan mengembangkan adat istiadat sebagai wujud pengakuan terhadap adat istiadat masyarakat Desa.11  Selanjutnya dalam Pasal 96 menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat dan ditetapkan menjadi Desa Adat.

Adapun persyaratan untuk penetapan Desa Adat sebagai berikut:

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih   hidup,   baik   yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional;

Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

KesatuanmasyarakatDesaadatbesertahaktradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Peraturan Perundang-Undangan, gampong sebagai entitas adat diberikan kewenangan dalam penyelesaian sengketa dan perselisihan yang terjadi wilayah gampong masing-masing. Namun, kewenangan tersebut dibatasi dalam 18 hal. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Istiadat Gampong, ada 18 jenis sengketa/perselisihan yang dapat diselesaikan secara adat, yang meliputi:

1.   Perselisihan dalam rumah tangga;

2.   Sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;

3.   Perselisihan antar warga;

4.   Khalwat meusum;

5.   Perselisihan tentang hak milik;

6.   Pencurian dalam keluarga  (pencurian ringan);

7.   Perselisihan harta sehareukat;

8    Pencurian ringan;

9.   Pencurian ternak  peliharaan;

10. Pelanggaran adat tentang ternak,  pertanian, dan hutan;

11. Persengketaan di laut;

12. Persengketaan di pasar;

13. Penganiayaan ringan;

14. Pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);

15. Pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama  baik;

16. Pencemaran lingkungan (skala ringan);

17.   Ancam-mengancam  (tergantung dari jenis ancaman); dan

18.   Perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.


BAB IV

Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis

Landasan Filosofis 

Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat secara lengkap menyebutkan bahwa "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada, Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,serta dengan mewujudkan suatu   keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Bunyi pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat ini dapat diketahui bahwa yang menjadi tujuan nasional bangsa Indonesia adalah “ melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.

Salah satu tujuan pembentukan Negara yakni untuk memajukan kesejahteraan umum, maka hakikatnya bangsa indonesia telah menentukan pilihan kepada Negara kesejahteraan.  Adapun makna dari kata “umum” yang dihubungkan dengan dasar sila kelima dari pancasila yang terdapat pada pembentukan UUD 1945 alinea keempat yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berarti kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, yang tidak lain adalah rakyat yang telah mengikatkan diri menjadi bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai golongan dan etnis dengan beragam agama, adat, dan kebiasaan yang berbeda-beda. Bhineka tunggal ika menjadi semboyan bangsa Indonesia dimana keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk menjadi suatu bangsa. 

Pengakuan atas keberadaan hukum adat telah diperkuat dalam batang tubuh UUD 1945 pasca amandemen, yaitu dalam pasal 18B ayat (2) menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuankesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengisyaratkan bahwa pengakuan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat berserta hak tradisionalnya harus di atur dengan Undang-Undang. selain dari pasal 18B ayat (2), didalam batang tubuh UUD 2945 juga terdapat penguatan berkaitan dengan masyarakat hukum adat, yaitu pasal 28I ayat (3) dan pasal 32 ayat (1) dan ayat (2). Dengan demikian secara filosofis adanya norma didalam batang tubuh UUD 1945 yang di Tarik dari dasar konstitusional, sehingga pengaturan tentang hukum adat tidak dilepaskan dari tiga pengaturan tersebut.

Masyarakat hukum adat adalah kolompok masyarakat yang merepresentasikan apa yang disebut sebagai masyarakat yang memiliki susunan asli dengan hak asal-usul. Istilah dari “susunan asli” ini dimaksudkan untuk mewujudkan menunjukkan masyarakat yang mempunyai sistem pengurusan sendiri atau zelfbesturende danlandschappen. Maksud daripada pengurusan sendiri ini terjadi di dalam sebuah bentang lingkungan(landscape) atau dengan sebuah wilayah yang dihasilkan oleh perkembangan masyarakat. Hak asal-usul dari masyarakat dengan susunan asli setidaknya mencakup hak atas wilayah ( yang kemudian disebut sebagai hak ulayat), termaksud mempunyai bentuk pemerintahan komunitas sendiri (self governing community) yang menjalankan fungsi pemerintahan tradisional yang didasarkan pada adat setempat dan kearifan loka. Masyarakat hukum adat secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai “penyandang hak” degan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban sebagai subjek hukum.

Berdasarkan latar belakang filosofis keberadaan masyarakat adat aceh yang sudah memiliki susunan asli yang dimana masyarakat adat aceh memiliki identik dengan agama, filosofis ini memiliki pemahaman seperti ini dapat ditemukan dalam ngkapan kearifan yang sangat popular dalam kehidupan masyarakat aceh yaitu “ hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut”. Maksud dari kalimat ini menggambarkan bahwa hukum islam dan adat bagaikan zat allah dan sifatnya yang tidak dapat dipisahkan. Maksudnnya adalah semua ketentuan ajaran islam atau hukum islam yang telah melekat dengan nilai-nilai adat yang terdapat dalam masyarakat aceh. Oleh sebab itulah aceh memiliki hukum khusus yang dinamakan qanun. 

Pola penyelesaian sengketa/perselisihan yang berbasis budaya hukum Aceh sebagaimana dikemukakan di atas, menimbulkan implikasi, disatu sisi adanya penguatan otonomi gampong dan sekaligus mengurangi beban kerja aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim negara). Namun disisi lain, diperlukan adanya peningkatan kapasitas para pimpinan gampong, sehingga kearifan, kebijakan, dan kepiawaiannya dalam menyelesaikan berbagai perkara di gampong dapat memberikan rasa adil bagi para warganya.

Perlunya penguatan kapasitas bagi aparat pemerintahan gampong karena menurut Pasal 14 Qanun Aceh 9/2008 jontho Pasal 16 Pergub Aceh No 60 Tahun 2013, penyelesaian secara adat di gampong dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas: keuchik, imeum meunasah, tuha peut; sekretaris gampong, ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong sesuai dengan kebutuhan.

Landasan sosiologis

Masyarakat hukum dan adat di Aceh memiliki kekhasan dan karakter yang beragam sehingga pengaturannya dalam suatu peraturan harus dapat mengakomodir keberagaman yang ada, terutama untuk memenuhi pelaksaanaan hak masyarakat hukum adat. Oleh sebab itu dalam suatu peraturan harus didasari oleh fakta empiris sesuai dengan kondisi secara sosisologis , bahwa dimana permasalahan yang nyata yang telah dihadapi oleh masyarakat hukum dan adat di Aceh  yaitu seperti : 

Pertama , rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap nilai norma dan pemahaman pengaturan qanun yang membahas tentang khalwat mesum. Salah satu alasan yang mendasari kondisi ini ialah karena masih banyak tempat-tempat untuk melakukan khalwat mesum karena di Aceh Besar itu sendiri masih banyak tempat yang belum dilakukan pemeriksaan secara merata oleh satpol pp.

Kedua, persoalan mengenai perselisihan antara masyarakat gampong , banyaknya terjadi perselisihan antara masyarakat gampong di karenakan kurangnya rasa persaudaraan dan silaturahmi antar masyarakat yang dapat meminimalisir terjadinya perselisihan antara masyarakat gampong.

Ketiga, masih banyaknya perselisihan sengketa hak milik  yang terjadi di gampong.dimana perselisihan ini sendiri terjadi karena masih banyak masyarakat yang menduduki tempat yang belum jelas pemiliknya yang dapat mengakibatkan terjadinya sengketa di kemudiaan hari.sedangkan dalam penyelesaian perselisihan ini terdapat kendala-kendala dalam melakukan penyelesaiannya baik itu dikarenakan sikap dari masyarakatnya maupun dari segi administrasinya .

Untuk dapat menyelesaikan permasalahan Masyarakat Hukum Adat diperlukan  adanya proses afirmasi khusus, bukan saja terhadap pengakuan dan pelindungan terhadap hak tradisionalnya (penguasaan terhadap wilayah adat dan tanah ulayat), melainkan juga pelindungan hak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah juga harus dapat memberikan program pemberdayaan yang tepat sasaran bagi kebutuhan Masyarakat Hukum Adat. Program pemberdayaan harus diiringi dengan pemantauan (monitoring) dan evaluasi secara berkala untuk mengetahui efektivitas program pemberdayaan bagi kelangsungan hidup Masyarakat Hukum Adat.



Landasan yuridis

Berdasarkan evaluasi dan anlisis dari peraturan perundang – undangan yang telah diuraikan pada Bab III, terdapat beberapa peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai masalah masyarakat adat. Namun, pengaturannya masih belum diatur secara mendalam mengenai masayrakat adat gampong. Hal ini dinilai dari peraturan qanun mengenai adat gampong yang tidak di atur secara khusus untuk gampong gampong tertentung, dengan menilai bahwa setiap masyarakat gampong memiliki identik masing-masing pada daerahnya sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan pengaturan secara khusus dalam pengaturan qanun tersendiri secara konperensif yang akan mengatur mengenai permasalahan masyarakat adat gampong untuk menjadi landasan hukum permasalahan masayrakat adat gampong. 



BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan 

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut:

Teori dan praktik empiris mengenai pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan:

Masyarakat Adat tidak begitu saja muncul seperti sekarang ini, tetapi adanya perkembangan yang dimulai dari masa lalu sampai saat ini dan terdapat masyarakat yang mewakili masa tersebut. Masyarakat ini kemudian berkembang mengikuti perkembangan zaman maupun yang berkembang tidak seperti mengikuti perubahan zaman melainkan berubah sesuai dengan konsep mereka tentang perubahan itu sendiri.

Ter Haar, memberikan pengertian masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum adat sebagai sekelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan wilayah (teritorial), kesatuan keturunan (genelogis), serta kesatuan wilayah keturunan (teritoriat-geneologis) sehingga terdapat keberagaman bentuk masyarakat adat dari satu tempat ke tempat lain.

Pengakuan (recognition) terhadap Masyarakat Adat sangat penting karena dengan pengakuan membawa akiibat perlindungan hukum terhadap Masyarakat Adat dan hak-haknya.

Kondisi empiris Masyarakat Adat saat ini masih belum sepenuhnya terlindungi yang mengakibatkan keberadaannya terpinggirkan, serta munculnya konflik sosial dan konflik agraria di wilayah adat.

Kondisi peraturan perundang-undangan saat ini yang berkaitan dengan substansi di dalam Undang-Undang tentang Masyarakat Adat.Dalam evaluasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat ditemukan banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur Masyarakat Hukum Adat secara sektoral dan parsial yang tidak konsisten antara satu dengan lainnya sehingga menimbulkan kesulitan dalam implementasinya.

Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis RUU tentang Masyarakat Adat.

Landasan Filosofis.

Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haktradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Landasan Sosiologis.

Perlunya pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya melalui undang-undang tersendiri untuk memberikan perlindungan dan pemberdayaan serta menyelesaikan permasalahan terkait keberadaan Masyarakat Adat diantaranya berupa konflik social, konflik agraria dan sebagainya.

Landasan Yuridis

Perlunya diatur tentang Masyarakat Adat secara komprehensif dalam satu undang-undang tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan disharmoni karena tersebarnya pengaturan Masayarakat Adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menimbulkan kendala dalam implementasinya.

Saran 

Atas beberapa kesimpulan diatas, dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

Perlu adanya pengaturan Masyarakat Adat dalam undang-undang untuk dapat memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap keberadaan Masyarakat Adat dan hak-hakya. 

Dengan adanya undang-undang yang secara komprehensif mengatur keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya akan menyatukan pengaturan Masayarakat Adat yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan diharapkan dapatmenyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam implementasi selama ini.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengertian Penghapusan

Penghapusan sarana prasarana pendidikan

Pengertian Pengawasan dan penilaian sarana prasarana pendidikan.